Kamis, 09 Juni 2016

TUMBUHNYA JIWA KEAAGAMAAN PADA ANAK-ANAK HINDU




TUMBUHNYA JIWA KEAAGAMAAN PADA ANAK-ANAK HINDU



Diajukan untuk memenuhi Tugas Semester II
Mata Kuliah Psikologi Agama
Dosen Pengampu: Dr. Drs. I Ketut Sumadi, M.Par




Description: IMG_20150911_210507.jpg





Oleh:




                   KOMANG AGUSTYANA PUTRA          15.1.2.5.2.0816








FAKULTAS DHARMA ACARYA
PROGRAM PASCA SARJA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2016

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang Masalah
Hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap Maha Kuasa memiliki sejarah yang panjang. Hal ini dapat diketahui dari pendapat para ahli agama, baik melalui penelitian, dokumen kuno maupun kitab suci. Dalam masyarakat kuno telah dikenal berbagai kepercayaan, seperti dinamisme, animisme, politheisme, dan berpuncak pada monotheisme. Hal ini dapat dibuktikan melalui situs-situs kuno peninggalan peradapan Yunani Kuno, peradaban Mesir Kuno, peradaban China Kuno, peradaban sungai Eufrat dan Tigris dan banyak lagi. Satu hal yang pasti, manusia sejak zaman dahulu telah mengenal adanya Yang Maha. Dalam kitab suci, hubungan ini dikenal sebagai hubungan Pencipta dengan ciptaan-Nya. Dan hubungan ini ada mulai manusia pertama kali ada.
Hingga sekarang, manusia tetap memiliki keyakinan pada Tuhan. Besar kecilnya keyakinan itu tergantung dari berbagai hal. Misalnya sedikit banyaknya informasi keagamaan yang diterima, kebiasaan sejak usia dini, lingkungan keluarga, masyarakat di sekolah, pengalaman agama dan lainnya. Walaupun keyakinan terhadap Tuhan dipengaruhi berbagai faktor, tetap saja ada (walaupun sedikit) keyakinan manusia pada Tuhan.
Sebuah kata bijak menyebutkan bahwa masa sekarang di pengaruhi oleh masa yang terdahulu, begitu juga dengan sifat keberagamaan pada manusia, bahwasanya tingkat kesadaran agama pada tiap manusia sangat di pengaruhi pada masa kecilnya. Masa kanak-kanak adalah masa dimana serang individu mulai dapat berinteraksi dengan individu yang lainya, pada masa inilah sebenarnya masa emas dimana seseorang di perkenalkan dengan agama, karena di masa ini anak yang secara pikiran belum terlalu kritis dalam arti setiap apa yang di berikan oleh orang tuanya akan di terimanaya.

1.2 Rumusan Masalah
            Adapun rumusan masalah yang dapat ditarik dari pemaparan di atas adalah:
  1. Bagaimana pandangan para tokoh tetang jiwa keagamaan?
  2. Faktor apa saja yang menumbuhkan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu?
  3. Bagaimana implementasi dari usaha penumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu?

1.3 Tujuan
            Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Mengetahui pandangan para tokoh tetang jiwa keagamaan.
  2. Mengetahui faktor apa yang menumbuhkan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu.
  3. Mengetahui implementasi dari usaha penumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu.














BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Pandangan Para Tokoh Tetang Jiwa Keagamaan
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Sesuai dengan prinsip pertumbuhan maka seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu:
  1. Prinsip biologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam gejala gerak dan tindakan tanduknya ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa disekelilingnya. Dengan kata lain, ia belum dapat berdirisendiri karena manusia bukanlah merupakan makhluk instinktif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
  1. Prinsip tanpa daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia sama sekali tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri.
  1. Prinsif eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun baru akan menjadi baik daqn berfungsi kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.
Kesemuanya itu tidak dapat dipenuhi secara sekaligus melainkan melalui pertahapan. Demikian juga perkembangan agama pada anak.
Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang dan malahan mereka mengatakan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu ada pula yang berpendapat sebaliknya bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan. Ada beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak antara lain:
  1. Rasa ketergantungan (Sense of Depende)
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan, yaitu:
  1. Keinginan untuk perlindungan (security)
  2. Keinginan akan pengalaman baru (new experience)
  3. Keinginan untuk mendapat tanggapan (response)
  4. Keinginan untuk dikenal (recognation)
Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
  1. Instink keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink diantaranya instink keagamaan. Misalnya instink social pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius, baru akanberfungsi setelah anak dapat bergaul dan berkemampuan untuk berkomunikasi. Jadi instink social itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian pula instink keagamaan.
Timbulnya jiwa keagamaan menurut para ahli dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu yang berpandangan monistik dan yang berpandangan fakulty.
  1. Menurut Teori Monistik
Menurut teori monistik, yang meenjadi sumber kejiwaan keagamaan itu adalah berasal dari satu sumber kejiwaan. Sumber tunggal manakah yang paling dominan sebagai sumber jiwa kejiwaan itu? Terhadap sumber kejiwaan yang dominan itu, dikalangan ahli terjadi perbedaan pendapat:
  1. Menurut Thomas van Aquiono
Yang menjadi dasar kejiwaan agama ialah: Berfikir. Manusia bertuhan karena manusia menggunakan kemampuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berfikir manusia itu sendiri.
  1. Menurut Frederick Hegel
Agama adalah suatu pengalaman yang sungguh-sungguh benar dan tepat kebenaran abadi. Berdasarkan konsep itu maka agama semata-mata merupakan hal-hal atau persoalan yang berhubungan dengan pikiran.
  1. Menurut Frederick Schleimacher
Yang menjadi sumber keagamaan adalah rasa ketergantungan yang mutlak. Dengan adanya rasa ketergantugan yang mutlak itu manusia merasakan dirinya lemah. Kelemahan itu menyebabkan manusia selalu menggantungkan hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya. Dari rasa ketergantungan itulah timbul konsep tentang Tuhan. Rasa tidak berdaya untuk menghilangkan tentangan alam yang selalu dialaminya, lalu timbullah upacara untuk meminta perlindungan kepada kekuasaan yang diyakini dapat melindungi mereka. Itulah realitas dari upacara keagamaan.
  1. Menurut Rudolf Otto
Sumber jiwa agama adalah rasa kagum yang berasal dari The Whaly Other (yang sama sekali lain), jika seseorang dipengaruhi oleh rasa kagum terhadap sesuatu yang dianggapnya lain dari yang lain,maka keadaan mental seperti itu oleh Otto disebut “Numinous”. Perasaan itulah menurut R. Otto sebagai sumber dari kejiwaan agama manusia.
  1. Menurut William Mc Dougall
Menurutnya, tidak ada insting khusus sebagai “sumber jiwa keagamaan”, tetapi dari beberapa insting yang ada pada diri manusia, maka agama timbul dari dorongan insting tersebut secara terintegrasi.




  1. Menurut Teori Fakulti / Faculty Theori
Perbuatan manusia yang bersifat keagamaan dipengaruhi oleh 3 fungsi, yaitu:
  1. Fungsi Cipta, yaitu fungsi intelektual manusia. Melalui cipta orang dapat menilai dan membandingkan serta selanjutnya memutuskan sesuatu tindakan terhadap stimulus tertentu, termasuk dalam aspek agama.
  2. Fungsi Rasa, yaitu suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam membentuk motivasi dalam corak tingkah laku seseorang.melalui fungsi rasa dapat menimbulkan penghayatan dalam kehidupan beragama yang selanjutnya akan memberi makna pada kehidupan beragama.
  3. Karsa itu merupakan fungsi ekslusif dalam jiwa manusia. Karsa berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan fungsi kejiwaan.

2.2  Faktor-Faktor Yang Menumbuhkan Jiwa Keagamaan Pada Anak-Anak Hindu
Adapun faktor yang membentuk anak mulai mengenal dan mendalami agama tak terlepas dari faktor-faktor berikut yaitu :
  1. Faktor intern (bawaan)
Di masyarakat yang masih primitif muncul kepercayaan terhadap roh-roh gaib yang dapat memberikan kebaikan atau bahkan malapetaka. Agar roh-roh itu tidak berperilaku jahat, maka mereka berusaha untuk mendekatinya melalui saji-sajian / sasajen yang di persembahkan kepada roh roh tersebut. Bahkan di kalangan modern pun masih ada yang mempunyai kepercayaan kepad hal-hal tersebut. Kenyataan di atas membuktikan bahwa manusia itu memiliki kepercayaan untuk mempercayai suatu zat yang mempunyai kekuatan baik memberikan sesuatu yang bermanfaat.




  1. Faktor lingkungan (external)
  • Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak oleh karena itu kedudukan keluarga dalam menumbuhkan jiwa keaagamaan pada anak-anak sangatlah dominan.
Menurut Hurlock (1959 :434) keluarga merupakan “training centre” bagi penanaman nilai-nilai pengembangan jiwa beragama anak, seyogyanya bersamaan dengan perkembangan kepribadianya, yaitu sejak lahir bahkan lebih dari itu sejak dalam kandungan. Pandangan ini ini di dasarkan pengamatan para ahli jiwa terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa, ternyata mereka itu di pengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orang tua (terutama ibu) pada masa mereka dalam kandungan.
Dalam keluarga hendaknya peran orang tua sangat penting, ada beberapa hal yang perlu menjadi kepedulian (perhatian) orang tua sebagai berikut:
  1. Menjadi sosok yang patut di tiru, karena pada masa anak anak ini mereka akan mengidentifikasi sosok yang mereka kenal.
  2. Memberi perlakuan yang baik, sekalipun si anak melakukan kesalahan.
  3. Orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan atau melatih ajaran agama terhadap anak.
  • Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga formal yang mempunyai progam yang sistematik yang melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan yang di harapkan. Menurut hurlock (1959 :561) pengaruh sekolah terhadap tumbuhnya jiwa keaagamaan pada anak-anak sangat besar, karena sekolah meruapakan subtitusi dari keluarga dan guru-guru subtitusi dari orang tua.
Dalam kaitannya dengan proses menumbuhkan jiwa keaagamaan pada para siswa, maka sekolah berperan penting dalam mengembangkan wawasan pemahaman, pembiasaan mengamalkan sembahyang atau budi pekerti melalui pelajaran agama.

  • Lingkungan Masyarakat
Yang di magsud lingkungan masyarakat di sisni adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap terhadap perkembangan jiwa keagamaan atau kesadaran beragama individu.
Di dalam masyarakat, individu akan melakukan interaksi sisial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat lainya. Menurut Hurlock (1959: 436) mengemukakan bahwa “standar atau aturan gang (kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya” Corak perilaku anak merupakan cermin dari corak atau perilaku masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu di sini dapat di kemukakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama bagi anak sanagt bergantung pada kulaitas perilaku atau pribadi orang dewasa atau warga masyarakat.

2.3  Implementasi Dari Usaha Penumbuhan Jiwa Keagamaan Pada Anak-Anak Hindu
Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan. Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman, 2004).
Dalam menumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu tentunya terdapat berbagai prosrs atau usaha yang dilakukan baik melalui proses internal maupun proses eksternal. Proses menumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu ini dapat di implementasikan dalam beberapa usaha sebagai berikut :
  1. Mengajak anak melakukan Tirtha Yatra
Salah satu usaha menumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu yang dapat orang tua mau pun sekolah lakukan agar mampu menumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu adalah melaksanakan Tirtha Yatra ke tempat-tempat suci seperti pura, beji atau tempat penglukatan, dan lain-lain.
Tirtha Yatra (Dharma Yatra) adalah perjalanan ke tempat - tempat suci yang bertujuan untuk meningkatkan kesucian pribadi dan memperkuat keimanan kepada Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa yaitu Dengan memperluas cakrawala memandang keagungan-Nya sehingga manusia makin teguh mengamalkan ajaran Dharma.
            Dengan mengajak anak-anak ikut serta dalam tirtha ytara maka baik orang tua maupun guru-guru mampu mengajarkan anak-anak untuk menghayati nilai-nilai sejarah dari objek suci yang dikunjungi.

  1. Mengikut sertakan anak dalam Pasraman Alit
Walaupun dalam dunia pendidikan formal seperti di sekolah, anak-anak sudah mendapatkan pelajaran agama Hindu, tapi untuk lebih memantapkan usaha menumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu peran orang tua dan lembaga pendidikan non formal sangat berperan untuk menambah pemahaman anak tentang ajaran agamanya. Salah satu pendidikan non formal yang sering kita jumpai di Bali adalah Pasraman.
Pasraman yang berasal dari kata "asrama", dimana salah satunya disebutkan : "Pada saat brahmacari hendaknya segala tenaga dan pikiran benar - benar diarahkan kepada kemantapan belajar, serta upaya pengembangan ketrampilan sebagai bekal dalam kehidupan kelak agar nantinya dapat mengaktualisasikan hasil proses berpikir tersebut untuk kehidupan ini.
Pasraman (pesraman) juga dikenal sebagai salah satu bentuk pendidikan dalam hal pengembangan ketrampilan, karakter anak dan pelestarian kebudayaan pada jalur nonformal yang biasanya di beberapa desa adat di Bali dilaksanakan di luar jam sekolah.

  1. Mengajak anak untuk menyaksikan Dharma Wacana
Penguatan pemahaman anak terhadap ajaran agama Hindunya juga dapat dilakukan dengan usaha mengajak anak-anak untuk menyaksikan Dharma Wacana baik langsung maupun lewat TV.
Dharma Wacana adalah methoda penerangan Agama Hindu yang disampaikan pada setiap kesempatan Umat Hindu yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Kegiatan penerangan semacam ini dimasa lalu disebut Upanisada. Terminologi Upanisada atau upanisad mengandung arti dan sifatnya yang “Rahasyapadesa” dan merupakan bagian dari kitab Sruthi. Pada masa lalu  ajaran upanisad sering dihubungkan dengan “Pawisik” yakni ajaran rahasia yang diberikan oleh seorang guru kerohanian kepada siswa atau muridnya dalam jumlah yang sangat terbatas.
Dengan istilah dharma wacana dimaksudkan sebagai methoda penerangan Agama Hindu yang diberikan secara umum kepada Umat Hindu sesuai dengan sifat, thema, bentuk jenis kegiatan keagamaan yang di desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan).
Dharma Wacana bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan untuk penghayatan dan pengamalan kedalam rohani umat serta mutu bhaktinya kepada Agama, masyarakat, bangsa dan negara dalam rangka peningkatan dharma agama dan dharma negara.

  1. Memberikan pemahaman tugas-tugas sebagai orang beragama Hindu
Usaha yang lainya yang dapat di lakukan oleh orang tua dalam usaha menumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu dengan memberikan pemahaman pada anak tentang tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban kita sebagai umat Hindu. Semisalnya memberikan tugas :
  • Membersihkan (menyapu) halaman sanggah atau merajan di rumah.
  • Membuat, menanding samapai menghaturkan (mebanten) canang, segehan bahkan paling sederhana yaitu saiban.
  • Memasang wastra (atribut-atribut pelinggih) saat-saat persiapan akan diadakannya upacara keagamaan.
 
Dengan mengajarkan dan membiasakan anak-anak dari kecil melaksanakan tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Hindu, maka dengan sendirinya anak-anak tersebut telah menjalani proses menumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu.

  1. Memfasilitasi anak untuk mempelajari seni dan budaya agama Hindu.
Satu lagi usaha yang bisa dilakukan oleh orang tua dalam menumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu yaitu dengan cara memfasilitasi anak-anak dalam mempelajari seni dan budaya yang dimiliki agama Hindu. Anak-anak bisa diajarakan menari tari-tarian Bali yang bertujuan untuk ditampilkan pada saat adanya upacara keagamaan, anak-anak bisa diajarkan memainkan gambelan yang bisa ditabuhkan saat upacara-upacara keagamaan. Mengajarkan anak-anak mekidung, mepupuh dan lain-lainnya.
Anak-anak juga bisa di fasilitasi untuk mengikuti lomba-lomba yang mengarah pada pemahaman dan pengenalan mereka terhadap agama mereka. Seperti mengikutkan anak-anak pada lomba busana adat kepura, secara tidak langsung kita sebagai orang tua mampu memberikan pemahaman kepada anak tentang seni dan budaya yang agamanya miliki.


























BAB III
PENUTUP


3.1  Kesimpulan
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Adapun faktor yang membentuk anak mulai mengenal dan mendalami agama tak terlepas dari faktor-faktor berikut yaitu :
  1. Faktor intern (bawaan)
  2. Faktor lingkungan (external)
·         Lingkungan keluarga
·         Lingkungan sekolah
·         Lingkungan Masyarakat
Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan. Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman, 2004).
Proses menumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu ini dapat di implementasikan dalam beberapa usaha sebagai berikut :
  1. Mengajak anak melakukan Tirtha Yatra
  2. Mengikut sertakan anak dalam Pasraman Alit
  3. Mengajak anak untuk menyaksikan Dharma Wacana
  4. Memberikan pemahaman tugas-tugas sebagai orang beragama Hindu
  5. Memfasilitasi anak untuk mempelajari seni dan budaya agama Hindu.

3.2  Saran
Saran yang dapat saya kemukakan dalam tugas ini yaitu khusunya bagi para orang tua dan umumnya pada masyarakat hendaknya dalam menumbuhkan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu hendaknya dilakukan dari sejak dini. Saat mereka masih anak-anak adalah masa dimana kita sebagai orang tua dengan mudah memberikan pemahaman dan pengarahan kepada konsep agama yang telah kita ketahui. Serta banyak cara yang bisa kita gunakan dalam menumbuhkan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu.

           

           



















Daftar Pustaka:


Nico Syukur Dister, Dr. 2001. Psikologi Agama. Jakarta : Kanisius
Jalaludin. 1998. Psikologi Agama. Jakarta : Grafindo Persada
Jalaludin.H. 2003. Psikologi Agama. Jakarta : Pt. Raja Grafindo Persada
Jalaludin Rakhmat. 2004. Psikologi Agama sebuah pengatar. Jakarta : Mizan
Jalaludin Dan Ramayulis. 1993. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : Kalam Mulia
Sri Mulyanti, S.Pd. 2013 . Perkembangan Psikologi Anak. Jakarta : Laras Media

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar