TUMBUHNYA JIWA KEAAGAMAAN
PADA ANAK-ANAK HINDU
Diajukan untuk
memenuhi Tugas Semester II
Mata Kuliah Psikologi
Agama
Dosen Pengampu:
Dr. Drs. I Ketut Sumadi, M.Par
Oleh:
KOMANG AGUSTYANA
PUTRA 15.1.2.5.2.0816
FAKULTAS
DHARMA ACARYA
PROGRAM
PASCA SARJA
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Hubungan manusia
dengan sesuatu yang dianggap Maha Kuasa memiliki sejarah yang panjang.
Hal ini dapat diketahui dari pendapat para ahli agama, baik melalui penelitian,
dokumen kuno maupun kitab suci. Dalam
masyarakat kuno telah dikenal berbagai kepercayaan, seperti dinamisme,
animisme, politheisme, dan berpuncak pada monotheisme. Hal ini dapat
dibuktikan melalui situs-situs kuno peninggalan peradapan Yunani Kuno, peradaban Mesir Kuno, peradaban China Kuno, peradaban sungai Eufrat dan Tigris dan
banyak lagi. Satu hal yang pasti,
manusia sejak zaman dahulu telah mengenal adanya Yang Maha. Dalam
kitab suci, hubungan ini dikenal sebagai hubungan Pencipta dengan ciptaan-Nya.
Dan hubungan ini ada mulai manusia pertama kali ada.
Hingga sekarang, manusia tetap memiliki keyakinan pada Tuhan. Besar
kecilnya keyakinan itu tergantung dari berbagai hal. Misalnya sedikit banyaknya
informasi keagamaan yang diterima, kebiasaan sejak usia dini, lingkungan
keluarga, masyarakat di sekolah,
pengalaman agama dan lainnya. Walaupun keyakinan terhadap Tuhan dipengaruhi
berbagai faktor, tetap saja ada (walaupun sedikit) keyakinan manusia pada
Tuhan.
Sebuah kata
bijak menyebutkan bahwa masa sekarang di pengaruhi oleh masa yang terdahulu,
begitu juga dengan sifat keberagamaan pada manusia, bahwasanya tingkat
kesadaran agama pada tiap manusia sangat di pengaruhi pada masa kecilnya. Masa
kanak-kanak adalah masa dimana serang individu mulai dapat berinteraksi dengan
individu yang lainya, pada masa inilah sebenarnya masa emas dimana seseorang di
perkenalkan dengan agama, karena di masa ini anak yang secara pikiran belum
terlalu kritis dalam arti setiap apa yang di berikan oleh orang tuanya akan di
terimanaya.
1.2
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat
ditarik dari pemaparan di atas adalah:
- Bagaimana pandangan para tokoh tetang jiwa keagamaan?
- Faktor apa saja yang menumbuhkan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu?
- Bagaimana implementasi dari usaha penumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu?
1.3
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
- Mengetahui pandangan para tokoh tetang jiwa keagamaan.
- Mengetahui faktor apa yang menumbuhkan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu.
- Mengetahui implementasi dari usaha penumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pandangan
Para Tokoh Tetang Jiwa Keagamaan
Manusia
dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan
yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi
bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang
mantap lebih-lebih pada usia dini.
Sesuai
dengan prinsip pertumbuhan maka seorang anak menjadi dewasa memerlukan
bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu:
- Prinsip biologis
Secara
fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam gejala gerak dan
tindakan tanduknya ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa
disekelilingnya. Dengan kata lain, ia belum dapat berdirisendiri karena manusia
bukanlah merupakan makhluk instinktif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara
sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
- Prinsip tanpa daya
Sejalan
dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya maka anak yang baru
dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang
tuanya. Ia sama sekali tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri.
- Prinsif eksplorasi
Kemantapan
dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir baik
jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan.
Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih.
Akal dan fungsi mental lainnya pun baru akan menjadi baik daqn berfungsi
kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada
pengeksplorasian perkembangannya.
Kesemuanya
itu tidak dapat dipenuhi secara sekaligus melainkan melalui pertahapan.
Demikian juga perkembangan agama pada anak.
Menurut
beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Anak yang
baru dilahirkan lebih mirip binatang dan malahan mereka mengatakan anak seekor
kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu
ada pula yang berpendapat sebaliknya bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa
fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi dikemudian hari melalui proses
bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan. Ada beberapa teori
mengenai pertumbuhan agama pada anak antara lain:
- Rasa ketergantungan (Sense of Depende)
Teori
ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes. Menurutnya,
manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan, yaitu:
- Keinginan untuk perlindungan (security)
- Keinginan akan pengalaman baru (new experience)
- Keinginan untuk mendapat tanggapan (response)
- Keinginan untuk dikenal (recognation)
Berdasarkan
kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan
hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari
lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
- Instink keagamaan
Menurut
Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink diantaranya
instink keagamaan. Misalnya instink social pada anak sebagai potensi bawaannya
sebagai makhluk homo socius, baru akanberfungsi setelah anak dapat
bergaul dan berkemampuan untuk berkomunikasi. Jadi instink social itu
tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian pula instink keagamaan.
Timbulnya jiwa
keagamaan menurut para ahli dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu yang
berpandangan monistik dan yang berpandangan fakulty.
- Menurut Teori Monistik
Menurut teori monistik, yang meenjadi sumber kejiwaan
keagamaan itu adalah berasal dari satu sumber kejiwaan. Sumber tunggal manakah
yang paling dominan sebagai sumber jiwa kejiwaan itu? Terhadap sumber kejiwaan
yang dominan itu, dikalangan ahli terjadi perbedaan pendapat:
- Menurut Thomas van Aquiono
Yang menjadi dasar kejiwaan agama ialah: Berfikir. Manusia bertuhan
karena manusia menggunakan
kemampuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan
berfikir manusia itu sendiri.
- Menurut Frederick Hegel
Agama adalah suatu pengalaman yang sungguh-sungguh benar
dan tepat kebenaran abadi. Berdasarkan konsep
itu maka agama semata-mata merupakan hal-hal atau persoalan yang berhubungan dengan
pikiran.
- Menurut Frederick Schleimacher
Yang menjadi sumber keagamaan adalah rasa ketergantungan yang
mutlak. Dengan adanya rasa ketergantugan yang mutlak itu manusia merasakan
dirinya lemah. Kelemahan itu
menyebabkan manusia selalu menggantungkan hidupnya dengan suatu kekuasaan yang
berada diluar dirinya. Dari rasa ketergantungan itulah timbul konsep tentang
Tuhan. Rasa tidak berdaya untuk menghilangkan tentangan alam yang selalu dialaminya, lalu timbullah upacara untuk
meminta perlindungan kepada kekuasaan yang diyakini dapat melindungi mereka.
Itulah realitas dari upacara keagamaan.
- Menurut Rudolf Otto
Sumber jiwa agama adalah rasa kagum yang berasal dari The Whaly Other (yang sama sekali lain), jika seseorang
dipengaruhi oleh rasa kagum terhadap sesuatu yang dianggapnya lain dari yang
lain,maka keadaan mental seperti itu oleh Otto disebut “Numinous”. Perasaan itulah menurut R. Otto sebagai sumber
dari kejiwaan agama manusia.
- Menurut William Mc Dougall
Menurutnya, tidak ada insting khusus sebagai “sumber jiwa keagamaan”,
tetapi dari beberapa insting yang ada pada diri
manusia, maka agama timbul
dari dorongan insting tersebut secara terintegrasi.
- Menurut Teori Fakulti / Faculty Theori
Perbuatan manusia yang bersifat keagamaan dipengaruhi oleh 3 fungsi, yaitu:
- Fungsi Cipta, yaitu fungsi intelektual manusia. Melalui cipta orang dapat menilai dan membandingkan serta selanjutnya memutuskan sesuatu tindakan terhadap stimulus tertentu, termasuk dalam aspek agama.
- Fungsi Rasa, yaitu suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam membentuk motivasi dalam corak tingkah laku seseorang.melalui fungsi rasa dapat menimbulkan penghayatan dalam kehidupan beragama yang selanjutnya akan memberi makna pada kehidupan beragama.
- Karsa itu merupakan fungsi ekslusif dalam jiwa manusia. Karsa berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan fungsi kejiwaan.
2.2 Faktor-Faktor Yang
Menumbuhkan Jiwa Keagamaan Pada Anak-Anak Hindu
Adapun faktor yang
membentuk anak mulai mengenal dan mendalami agama tak terlepas dari
faktor-faktor berikut yaitu :
- Faktor intern (bawaan)
Di masyarakat yang
masih primitif muncul kepercayaan terhadap roh-roh gaib yang dapat memberikan
kebaikan atau bahkan malapetaka. Agar roh-roh itu tidak berperilaku jahat, maka
mereka berusaha untuk mendekatinya melalui saji-sajian / sasajen yang di
persembahkan kepada roh roh tersebut. Bahkan di kalangan modern pun masih ada
yang mempunyai kepercayaan kepad hal-hal tersebut. Kenyataan di atas
membuktikan bahwa manusia itu memiliki kepercayaan untuk mempercayai suatu zat
yang mempunyai kekuatan baik memberikan sesuatu yang bermanfaat.
- Faktor lingkungan (external)
- Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan
lingkungan pertama dan utama bagi anak oleh karena itu kedudukan keluarga dalam
menumbuhkan jiwa keaagamaan pada anak-anak sangatlah
dominan.
Menurut Hurlock (1959
:434) keluarga merupakan “training centre” bagi penanaman nilai-nilai
pengembangan jiwa beragama anak, seyogyanya bersamaan dengan perkembangan
kepribadianya, yaitu sejak lahir bahkan lebih dari itu sejak dalam kandungan.
Pandangan ini ini di dasarkan pengamatan para ahli jiwa terhadap orang yang
mengalami gangguan jiwa, ternyata mereka itu di pengaruhi oleh keadaan emosi
atau sikap orang tua (terutama ibu) pada masa mereka dalam kandungan.
Dalam keluarga
hendaknya peran orang tua sangat penting, ada beberapa hal yang perlu menjadi
kepedulian (perhatian) orang tua sebagai berikut:
- Menjadi sosok yang patut di tiru, karena pada masa anak anak ini mereka akan mengidentifikasi sosok yang mereka kenal.
- Memberi perlakuan yang baik, sekalipun si anak melakukan kesalahan.
- Orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan atau melatih ajaran agama terhadap anak.
- Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan
lembaga formal yang mempunyai progam yang sistematik yang melaksanakan
bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang
sesuai dengan yang di harapkan. Menurut hurlock (1959 :561) pengaruh sekolah
terhadap tumbuhnya jiwa keaagamaan
pada anak-anak sangat besar, karena sekolah
meruapakan subtitusi dari keluarga dan guru-guru subtitusi dari orang tua.
Dalam kaitannya dengan
proses menumbuhkan jiwa keaagamaan pada para
siswa, maka sekolah berperan penting dalam mengembangkan wawasan pemahaman,
pembiasaan mengamalkan sembahyang atau budi pekerti melalui pelajaran agama.
- Lingkungan Masyarakat
Yang di magsud
lingkungan masyarakat di sisni adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan
sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap terhadap perkembangan jiwa
keagamaan atau kesadaran beragama individu.
Di dalam masyarakat, individu akan melakukan interaksi sisial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat lainya. Menurut Hurlock (1959: 436) mengemukakan bahwa “standar atau aturan gang (kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya” Corak perilaku anak merupakan cermin dari corak atau perilaku masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu di sini dapat di kemukakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama bagi anak sanagt bergantung pada kulaitas perilaku atau pribadi orang dewasa atau warga masyarakat.
Di dalam masyarakat, individu akan melakukan interaksi sisial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat lainya. Menurut Hurlock (1959: 436) mengemukakan bahwa “standar atau aturan gang (kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya” Corak perilaku anak merupakan cermin dari corak atau perilaku masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu di sini dapat di kemukakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama bagi anak sanagt bergantung pada kulaitas perilaku atau pribadi orang dewasa atau warga masyarakat.
2.3 Implementasi
Dari Usaha Penumbuhan Jiwa Keagamaan Pada Anak-Anak Hindu
Secara sederhana implementasi bisa diartikan
pelaksanaan atau penerapan. Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman,
2002), mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam
Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan
aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai aktivitas
yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan
Usman, 2004).
Dalam menumbuhan
jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu tentunya terdapat berbagai prosrs atau
usaha yang dilakukan baik melalui proses internal maupun proses eksternal.
Proses menumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu ini dapat di
implementasikan dalam beberapa usaha sebagai berikut :
- Mengajak anak melakukan Tirtha Yatra
Salah satu usaha menumbuhan jiwa keagamaan pada
anak-anak Hindu yang dapat orang tua mau pun sekolah lakukan agar mampu menumbuhan
jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu adalah melaksanakan Tirtha Yatra ke
tempat-tempat suci seperti pura, beji atau tempat penglukatan, dan lain-lain.
Tirtha Yatra
(Dharma Yatra) adalah perjalanan ke tempat - tempat suci
yang bertujuan untuk meningkatkan kesucian pribadi dan memperkuat keimanan
kepada Ida Sang Hyang Widhi,
Tuhan Yang Maha Esa yaitu Dengan
memperluas cakrawala
memandang keagungan-Nya sehingga manusia makin teguh mengamalkan ajaran Dharma.
Dengan mengajak anak-anak ikut serta
dalam tirtha ytara maka baik orang tua maupun guru-guru mampu mengajarkan
anak-anak untuk menghayati nilai-nilai
sejarah dari objek suci yang dikunjungi.
- Mengikut sertakan anak dalam Pasraman Alit
Walaupun dalam dunia pendidikan formal seperti di
sekolah, anak-anak sudah mendapatkan pelajaran agama Hindu, tapi untuk lebih
memantapkan usaha menumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu peran orang
tua dan lembaga pendidikan non formal sangat berperan untuk menambah pemahaman
anak tentang ajaran agamanya. Salah satu pendidikan non formal yang sering kita
jumpai di Bali adalah Pasraman.
Pasraman yang berasal dari kata "asrama",
dimana salah satunya disebutkan : "Pada saat brahmacari hendaknya segala
tenaga dan pikiran benar - benar diarahkan kepada kemantapan belajar, serta
upaya pengembangan ketrampilan sebagai bekal dalam kehidupan kelak agar
nantinya dapat mengaktualisasikan hasil proses berpikir tersebut untuk
kehidupan ini.
Pasraman (pesraman) juga dikenal sebagai salah satu
bentuk pendidikan dalam hal pengembangan ketrampilan, karakter anak dan
pelestarian kebudayaan pada jalur nonformal yang biasanya di beberapa desa adat
di Bali dilaksanakan di luar jam sekolah.
- Mengajak anak untuk menyaksikan Dharma Wacana
Penguatan pemahaman anak terhadap ajaran agama
Hindunya juga dapat dilakukan dengan usaha mengajak anak-anak untuk menyaksikan
Dharma Wacana baik langsung maupun lewat TV.
Dharma Wacana adalah methoda penerangan Agama Hindu
yang disampaikan pada setiap kesempatan Umat Hindu yang berkaitan dengan kegiatan
keagamaan. Kegiatan penerangan semacam ini dimasa lalu disebut Upanisada.
Terminologi Upanisada atau upanisad mengandung arti dan sifatnya yang
“Rahasyapadesa” dan merupakan bagian dari kitab Sruthi. Pada masa lalu
ajaran upanisad sering dihubungkan dengan “Pawisik” yakni ajaran rahasia yang
diberikan oleh seorang guru kerohanian kepada siswa atau muridnya dalam jumlah
yang sangat terbatas.
Dengan istilah dharma wacana dimaksudkan sebagai
methoda penerangan Agama Hindu yang diberikan secara umum kepada Umat Hindu
sesuai dengan sifat, thema, bentuk jenis kegiatan keagamaan yang di desa
(tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan).
Dharma Wacana bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan untuk penghayatan dan pengamalan kedalam rohani umat serta mutu
bhaktinya kepada Agama, masyarakat, bangsa dan negara dalam rangka peningkatan
dharma agama dan dharma negara.
- Memberikan pemahaman tugas-tugas sebagai orang beragama Hindu
Usaha yang lainya yang dapat di lakukan oleh
orang tua dalam usaha menumbuhan jiwa
keagamaan pada anak-anak Hindu dengan memberikan pemahaman pada anak tentang
tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban kita sebagai umat Hindu. Semisalnya
memberikan tugas :
- Membersihkan (menyapu) halaman sanggah atau merajan di rumah.
- Membuat, menanding samapai menghaturkan (mebanten) canang, segehan bahkan paling sederhana yaitu saiban.
- Memasang wastra (atribut-atribut pelinggih) saat-saat persiapan akan diadakannya upacara keagamaan.
Dengan mengajarkan dan membiasakan anak-anak dari
kecil melaksanakan tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan
oleh umat Hindu, maka dengan sendirinya anak-anak tersebut telah menjalani
proses menumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu.
- Memfasilitasi anak untuk mempelajari seni dan budaya agama Hindu.
Satu lagi usaha yang bisa dilakukan oleh orang
tua dalam menumbuhan jiwa keagamaan
pada anak-anak Hindu yaitu dengan cara memfasilitasi anak-anak dalam
mempelajari seni dan budaya yang dimiliki agama Hindu. Anak-anak bisa
diajarakan menari tari-tarian Bali yang bertujuan untuk ditampilkan pada saat
adanya upacara keagamaan, anak-anak bisa diajarkan memainkan gambelan yang bisa
ditabuhkan saat upacara-upacara keagamaan. Mengajarkan anak-anak mekidung,
mepupuh dan lain-lainnya.
Anak-anak juga bisa di fasilitasi untuk
mengikuti lomba-lomba yang mengarah pada pemahaman dan pengenalan mereka
terhadap agama mereka. Seperti mengikutkan anak-anak pada lomba busana adat
kepura, secara tidak langsung kita sebagai orang tua mampu memberikan pemahaman
kepada anak tentang seni dan budaya yang agamanya miliki.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manusia
dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan
yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi
bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang
mantap lebih-lebih pada usia dini.
Adapun faktor
yang membentuk anak mulai mengenal dan mendalami agama tak terlepas dari
faktor-faktor berikut yaitu :
- Faktor intern (bawaan)
- Faktor lingkungan (external)
·
Lingkungan keluarga
·
Lingkungan sekolah
·
Lingkungan Masyarakat
Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau
penerapan. Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan
implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman,
2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang
saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai aktivitas yang saling
menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman, 2004).
Proses menumbuhan jiwa keagamaan pada anak-anak Hindu
ini dapat di implementasikan dalam beberapa usaha sebagai berikut :
- Mengajak anak melakukan Tirtha Yatra
- Mengikut sertakan anak dalam Pasraman Alit
- Mengajak anak untuk menyaksikan Dharma Wacana
- Memberikan pemahaman tugas-tugas sebagai orang beragama Hindu
- Memfasilitasi anak untuk mempelajari seni dan budaya agama Hindu.
3.2 Saran
Saran yang dapat saya kemukakan dalam tugas ini yaitu khusunya bagi
para orang tua dan umumnya pada masyarakat
hendaknya dalam menumbuhkan jiwa
keagamaan pada anak-anak Hindu hendaknya dilakukan dari sejak dini. Saat mereka
masih anak-anak adalah masa dimana kita sebagai orang tua dengan mudah
memberikan pemahaman dan pengarahan kepada konsep agama yang telah kita ketahui.
Serta banyak cara yang bisa kita gunakan dalam menumbuhkan jiwa keagamaan pada
anak-anak Hindu.
Daftar Pustaka:
Nico Syukur Dister,
Dr. 2001. Psikologi Agama. Jakarta :
Kanisius
Jalaludin. 1998. Psikologi Agama. Jakarta : Grafindo Persada
Jalaludin.H.
2003. Psikologi Agama. Jakarta : Pt.
Raja Grafindo Persada
Jalaludin Rakhmat. 2004. Psikologi Agama sebuah pengatar. Jakarta : Mizan
Jalaludin Dan Ramayulis. 1993. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta :
Kalam Mulia
Sri Mulyanti, S.Pd. 2013 . Perkembangan Psikologi Anak. Jakarta :
Laras Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar