Kamis, 09 Juni 2016

KEBUDAYAAN OGOH-OGOH YANG TERHEGEMONI (Dikaji dengan Teori Hegemoni)



KEBUDAYAAN OGOH-OGOH YANG TERHEGEMONI
(Dikaji dengan Teori Hegemoni)


Description: D:\KADEK FOLDER\LOGO IHDN Denpasar 2015.jpg






OLEH :
NAMA            : KOMANG AGUSTYANA PUTRA
NIM                : 15.1.2.5.2.0816


PROGRAM MAGISTER DHARMA ACARYA
ISTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2016

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Sehari sebelum hari raya Nyepi sebagai peringatan Tahun Baru Saka oleh umat Hindu, di Bali diadakan ucapara Tawur Kesanga. Prosesi upacara terdiri dari rangkaian pecaruan di masing-masing pewidangan (Banjar/Desa Pekraman). Yang waktunya dapat dilaksanakan pada siang hari sampai sandyakala yaitu saat perpaduan antara hari sore dengan hari malam. Pecaruan/Tawur Kesanga bertujuan untuk melakukan penyomian para bhuta (kegelapan) menjadi dewa (sinar suci). Pada sandyakala atau sering disebut sandikala sebagai batas akhir pelaksanaan pecaruan, yang dirangkaikan dengan pelaksanaan kegiatan Meabu-abu yatiu kegiatan yang diyakini sebagai puncak keberhasilan dalam prosesi penyomiyan. Karenanya pada saat itu dilaksanakan upakara ngaturang blabaran atau segehan pada sanggah cucuk di masing-masing pelebuhan.
Puncak dari prosesi ngaturang blabaran ini adalah dengan membunyikan berbagai suara yang menimbulkan suara kegaduhan (dengan memukul kentongan, kaleng, ember, dan lainnya), disertai api obor dengan berkeliling pekarangan rumah atau desa. Tujuannya adalah agar para bhuta tidak lagi kembali ke lingkungan pedesaan. Adanya prinsip Desa (tempat), Kala (waktu) dan Patra (keadaan), menyebabkan prosesi pecaruan dilaksanakan sesuai desa mawa cara (sesuai dengat adat istiadat di desa masing-masing). Sepert halnya di Desa Sesetan, Desa Pedungan dan Desa Sidakrya Denpasar Selatan-Bali, biasanya upacara Me ubu-ubu dilanjutkan dengan tradisi arak-arakan obor keliling desa. Arak-arakan biasanya diramaikan dengan berbagai variasi tetabuhan kentongan dan gong sampai pagi. Demikian juga di desa-desa lain di Bali memvisualisasikan berbagai kegiatan yang berkonotasi sama yaitu dalam rangka penyomiaan kalangan bhuta.
Seluruh rangkaian kegiatan keramaian sebagai bagian upakara Meubu-ubu itu telah menggelitik inspirasi beberapa kreator di Bali, yaitu untuk menjadikannya ranah penuangan berbagai kreasi yang mempertajam pemaknaan dari berbagai kegiatan dan keramain yang di lakukan oleh masyarakat. Maka lahirlah kemudian kemeriahan thematis yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kreatfitas seperti bebarongan, rangkaian pelaksanaan panca yadnya, pewayangan, dan lain-lain. Kemeriahan kreasi tahunan inilah kemudian oleh para tokoh masyarakat dan seniman dijadikan momentum berkreasi. Yaitu bagaimana meramu berbagai unsur kegiatan ini agar tidak menjadi liar atau tanpa arah. Munculah kemudian berbagai kreasi berupa karya seni tiga dimensi, dengan berbagai bentuk patung, binatang, bebuthan, tokoh pewayangan, dan lain-lain. Kreasi ini selanjutnya dikenal dengan sebutan ogoh-ogoh.
Sekalipun ogoh-ogoh telah bermetafosis sejak lama, tetapi keberadaannya mulai marak sejak tahun 1990, yaitu ketika kegiatan PKB (Pesta Kesenian Bali) melombakan parade ogoh-ogoh dari perwakilan kabupaten/kota se Bali. Sejak itu taksu ogoh-ogoh tumbuh dan berkembang sedemikian dasyatnya yang ditunjukkan oleh kerinduan masyarakat akan kehadirannya. Taksu ogoh-ogoh yang sedemikian besar juga membawa ekses, yaitu munculnya wacana pro-kontra tentang keberadaan ogoh-ogoh. Di satu sisi memandang ogoh-ogoh sebagai bagian dari perkembangan kreatif yang tumbuh dari realitas budaya dan intuisi keseniman masyarakat Bali. Disisi lain memandang keberadaan ogoh-ogos sebagai salah satu sumber konflik sehingga kurang tepat diadakan pada saat pengerupukan. Dalam makalah ini, pelaksanaan ogoh-ogoh yang merupakan salah satu bagian dari kebudayaan umat Hindu di Bali akan dikaji dengan menggunakan teori Hegemoni.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi teori Hegemoni menurut ahli?
2.      Bagaimana pengertian singkat tentang Ogoh-ogoh?
3.      Apa makna dari Ogoh-ogoh?
4.      Bagaimana sejarah Ogoh-ogoh?
5.      Bagaimanakah bentuk hegemoni pada kebudayaan ogoh-oguh?

1.3 Tujuan Penulisan
Pada dasarnya setiap kegiatan mempunyai tujuan tersendiri apalagi dalam kegiatan ilmiah. Tujuan dari pembuatan tugas ini yaitu :
1.      Mampu mengetahui dan memahami bagaimana definisi teori Hegemoni menurut ahli.
2.      Mampu mengetahui dan memahami bagaimana pengertian singkat tentang Ogoh-ogoh.
3.      Mampu mengetahui dan memahami apa makna dari Ogoh-ogoh.
4.      Mampu mengetahui dan memahami bagaimana sejarah Ogoh-ogoh.
5.      Mampu mengetahui dan memahami bagaimanakah bentuk hegemoni pada kebudayaan ogoh-oguh.




















BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Definisi teori Hegemoni menurut ahli
            Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ‘eugemonia’. Sebagaimana yang dikemukakan encylclopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polism atau citystates) secaara individual misalnya yang dilakukan opleh negara Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar (Hendarto, 1993:73).
Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”
Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.

2.2 Pengertian singkat tentang Ogoh-ogoh
Sesuai dengan Paruman Bendesa Adat se Kota Denpasar tahun 2004/2005 menyatakan bahwa ogoh-ogoh tidak terkait dengan kegiatan agama atau pengerupukan. Apalagi ogoh-ogoh itu di arak setelah upakara Me abu-abu. Maka logikanya tentu tidak ada kaitan dengan upaya penyomiyan bhuta.
Persepsi yang yang sama juga pernah terjadi terhadap kemunculan kesenian bebarongan pada jaman Dalem Waturenggong. Bebarongan sama sekali tidak dianggap berhubungan dengan sastra agama. Anggapan semacam itu juga menimbulkan pro-kontra tentang penyembahan terhadap Barong (bentuk binatang) atau Rangda (bentuk kejahatan).
Pada saat itu para tokoh menjelaskan pengertian bebarongan secara etimologi, Kata barong berasal dari barung yang artinya bareng-bareng dalam bahasa Indonesia beriringan. Implementasinya kemudian adalah Barong menjadi sarana tari, Bebarungan pada gamelan, Bareng-bareng dalam kebersamaan, beriringan, saling mengikuti sesuai urutan. Rangkaian semua ini menjadi simbol persatuan yang menyemaikan kekuatan gaib yang di sebut taksu.
Taksu merupakan kekuatan yang tumbuh secara gaib yang secara mendasar memberi kekuatan magis terhadap berbagai hal yang diyakini mampu mempersatukan semua komponen massa. Jadi Taksu yang berlandaskan kreasi seni diyakini secara pasti akan kembali kepada keselamatan. Sedangkan Taksu yang berlandasakan bhuta dipastikan akan kembali ke kehancuran. Logikanya adalah konsep berkesenian pada dasarnya selalu berorientasi untuk membuat orang senang.
Karena itu bisa di katakan bahwa Barong dan Ogoh-Ogoh tumbuh karena Taksu dan keduanya sama-sama Produk seni. Yang membedakan kalau Barong di sakralkan dan di sungsung secara permanen sebagai saras. Sedangkan Ogoh-Ogoh adalah seni rupa yang berbentuk tiga dimensi yang diusung beramai-ramai dan ditarikan secara ogah-ogah (digoyang-goyangkan) yang sifatnya tidak permanen.

2.3 Makna dari Ogoh-ogoh
Makna dari ogoh-ogoh adalah patung yang melambangkan Buta Kala diharapkan dapat menetralisir roh-roh jahat yang menguasai alam manusia antara kebaikan dan keburukan yang biasa juga disebut dengan "Balance of the World".
Prosesi Ogoh-Ogoh merupakan serangkaian dengan upacara Tawur Kesanga adalah sebuah ekspresi kreatif masyarakat Hindu Bali di dalam memaknai perayaan pergantian Tahun Caka. Masyarakat menciptakan Ogoh-Ogoh Bhutakala seperti : Kala Bang, Kala Ijo, Kala Dengen, Kala Lampah, Kala Ireng, dan banyak lagi bentuk-bentuk lainnya, sebagai perlambang sifat-sifat negatif yang harus dilebur agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Ogoh-Ogoh Bhutakala yang diciptakan kemudian dihaturkan sesaji “natab caru pabiakalan” sebuah ritual yang bermakna “nyomia”, mengembalikan sifat-sifat Bhutakala ke asalnya.
Ritual tersebut dilanjutkan dengan prosesi Ogoh-Ogoh, seluruh lapisan masyarakat bersama-sama mengusung Ogoh-Ogoh mengelilingi jalan-jalan desa dan mengitari catus pata sebagai simbol siklus sakral perputaran waktu menuju ke pergantian tahun Caka yang baru. Setelah ritual dan prosesi Ngerupuk tersebut Ogoh-Ogoh Bhutakala itupun “di-prelina”, mengembalikan ke asalnya dengan dilebur atau dibakar.
Terkait dengan upacara Tawur Kesanga dan ritual Ngerupuk tersebut, prosesi Ogoh-Ogoh mengandung dua makna yaitu :
1.      Mengekspresikan nilai-nilai religius dan ruang-waktu sakral berdasarkan sastra-sastra agama
2.      Merupakan karya kreatif yang disalurkan melalui ekspresi keindahan dan kebersamaan.  
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut di atas Pemerintah Kota Denpasar melalui Dinas Kebudayaan Kota Denpasar bekerjasama dengan Majelis Madya dan Parum Bendesa Desa Pakraman Denpasar, Listibiya Kota Denpasar, SKPD Kecamatan memfasilitasi tradisi kreatif masyarakat dengan melaksanakan Parade Ogoh-Ogoh Pangerupukan sekaligus menyambut Tahun Baru Saka 1934 dengan berpedoman kepada Buku Panduan Ogoh-Ogoh Pangerupukan Kota Denpasar Th. 2011. 
“Ogoh-ogoh”, begitu yang disebut oleh masyarakat Bali tentang simbolis dari raksasa jahat berbadan besar dengan rupa menyeramkan ini. Sebenarnya ogoh-ogoh punya satu fungsi pokok yang menjadi dasar penciptaannya yaitu pengusiran roh jahat di lingkungan alam semesta agar terbebas dari segala mara bahaya. Ogoh-ogoh tidak hanya disegani oleh kaula muda, dari anak kecil sampai orang dewasa pun tertarik pada ogoh-ogoh. Taukah anda, ogoh-ogoh punya sisi mistis tersendiri?. Di era sekarang, ogoh-ogoh lebih dominan di fungsikan untuk perlombaan karya seni yang menggali kreativitas anak muda di Bali atau sekedar untuk arak-arakan penghibur masyarakat sehingga seringkali fungsi magisnya tersingkirkan.
Penuturan singkat di dapat dari I Komang Wijaya, salah satu sekaa truna STT Dharma Sentana. Menurutnya, nyepi tanpa ogoh-ogoh tidaklah semarak dan meriah. Disamping itu ogoh-ogoh bisa menjadi media kreativitas anak muda sehingga aspirasi seninya tersalurkan dengan positif. “Jika ada saat-saat tertentu ogoh-ogoh tidak boleh dibuat karena suatu upacara besar umat hindu, sekaa truna disini akan mengikuti anjuran tersebut, karena kami membuat ogoh-ogoh bukan untuk ajang urak-urakan anak muda tapi memperhatikan juga etika dan fungsi religinya” tuturnya.
Jero Mangku atau sebut saja Pekak Mangku Jana yang sempat ditemui di Bakisan (masih termasuk areal Tabanan) menuturkan opininya mengenai perkembangan fungsi ogoh-ogoh di era sekarang. Menurutnya, ogoh-ogoh semestinya dikembalikan lagi ke fungsi dasarnya, seni dan kreativitas boleh-boleh saja dituangkan dalam ogoh-ogoh tapi tidak menghilangkan makna religinya. “Sebenarnya sebelum ogoh-ogoh diarak mengelilingi desa, terlebih dahulu harus dilakukan upacara “pasupati”.
Pasupati itu sejenis upacara pemberkatan ogoh-ogoh yang sudah rampung dibuat agar memiliki kekuatan magis positif untuk mengusir roh jahat yang diistilahkan “Bhuta Kala”. Ogoh-ogoh yang telah rampung kemudian di arak ramai-ramai diiringi sekaa truni yang membawa obor di depannya.
Penghancuran ogoh-ogoh sendiri usai diarak juga bisa bermakna menghilangkan mala (dasa mala), panca baya dan leteh yang ada pada diri manusia. Masalahnya, saat ini ada dalam realita, pembuatan ogoh-ogoh dengan menggunakan bahan sintetik yang tak bisa dihancurkan oleh alam bisa menjadi pengingkaran konsep sakti yang sejati. 
Hal itu semakin menorehkan kesan bahwa ogoh-ogoh adalah simbolis diaraknya atau kalahnya roh jahat bhuta kala untuk kemudian di bakar di setra atau perempatan desa. Pembakaran ini mempunyai maksud dilebur dan dimusnahkannya roh bhuta kala baik di alam semesta dan yang terpenting pada diri sendiri. Sederhananya, arakan ogoh-ogoh bermakna menangnya “Dharma” melawan “Adharma”.
Di tengah sesi pembakaran, biasanya ada saja sekaa truna – truni yang tedun (kesurupan). Hal ini lumrah terjadi, karena roh bhuta kala yang kasat mata tersebut bisa saja merasuki jiwa setiap orang. Namun hal ini segera di atasi dengan pemberian tirta oleh pemangku setempat. Namun akhir-akhir ini sering kali saya temui di beberapa daerah, ogoh-ogoh itu hanya di fungsikan untuk arak-arakan penglipur lara masyarakat serta ajang seru-seruan anak muda. Atau bahkan di pajang di pinggir jalan sebagai pameran. Hal ini boleh-boleh saja, tapi terkesan menghilangkan kesan magis ogoh-ogoh itu sendiri. Masyarakat hendaknya memperhatikan nilai magisnya. Ogoh-ogoh dicetuskan dengan suatu makna yang positif bagi alam semesta. Jadi masyarakat tak boleh salah pengertian, karena ogoh-ogoh disamping dilihat dari nilai estetikanya juga harus diperhatika fungsi atau makna mistis yang terselip di dalamnya
Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua ini tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi dunia.

2.4 Sejarah Ogoh-ogoh
Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Nama Ogoh-ogoh itu sendiri diambil dari sebutan ogah-ogah dari bahasa Bali. Artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan. Dan tahun 1983 merupakan bagian penting dalam sejarah ogoh-ogoh di Bali. Pada tahun itu mulai dibuat wujud-wujud bhuta kala berkenaan dengan ritual Nyepi di Bali. Ketika itu ada keputusan presiden yang menyatakan Nyepi sebagai hari libur nasional. Semenjak itu masyarakat mulai membuat perwujudan onggokan yang kemudian disebut ogoh-ogoh, di beberapa tempat di Denpasar.
Budaya baru ini semakin menyebar ketika ogoh-ogoh diikutkan dalam Pesta Kesenian Bali ke XII. Ogoh-ogoh ini dimaksudkan mengembalikan bhutakala ketempat asalnya. Sebelumnya ada tradisi Barong Landung, Tradisi Ndong Nding dan Ngaben Ngwangun yang menggunakan ogoh-ogoh Sang Kalika,  bisa juga merujuk sebagai cikal bakal wujud ogoh-ogoh.
Di dalam babad, tradisi Barong Landung berasal dari cerita tentang seorang putri Dalem Balingkang, Sri Baduga dan pangeran Raden Datonta yang menikah ke Bali. Tradisi meintar mengarak dua ogoh-ogoh berupa laki-laki dan wanita mengelilingi desa tiap sasih keenam sampai kesanga. Visualisasi wujud Barong Landung inilah yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya ogoh-ogoh dalam ritual Nyepi.

2.5 Bagaimanakah bentuk hegemoni pada kebudayaan ogoh-oguh
Pernahkah anda berpikir, mengapa hampir seluruh masyarakat Bali baik anak-anak sampai orang tua, pada saat malam pengerupukan serentak disetiap banjar-banjar, di setiap desa-desa melaksanakan kebudayaan mengarak ogoh-ogoh keliling wilayah banjar atau desa mereka. Atau tidak timbulkah rasa heran di benak anda mengapa sebagian besar penduduk dunia sangat menyukai menonton pawai atau arak-arakan ogoh-ogoh yang dilaksanakan di Bali. Tentunya aneh jika anda berpikir bahwa hal itu dipicu atas kesepakatan bersama. Hal inilah yang dinamakan kebudayaan yang telah terhegemoni yaitu budaya yang banyak diminati oleh masyarakat tanpa ada batasan umur, jenis kelamin, dan geografis.               Jika kita kaji kebudayaan ogoh-ogoh ini dengan menggunakan teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”
            Pelaksanaan kebudayaan ogoh-ogoh ini telah terhegemoni semakin menyebar ketika ogoh-ogoh diikutkan dalam Pesta Kesenian Bali ke XII. Terdpat dua proses penyebarluasan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan. Secara institusional Pemerintah Kota Denpasar melalui Dinas Kebudayaan Kota Denpasar bekerjasama dengan Majelis Madya dan Parum Bendesa Desa Pakraman Denpasar, Listibiya Kota Denpasar, SKPD Kecamatan memfasilitasi tradisi kreatif masyarakat dengan melaksanakan Parade Ogoh-Ogoh Pangerupukan sekaligus menyambut Tahun Baru Saka 1934 dengan berpedoman kepada Buku Panduan Ogoh-Ogoh Pangerupukan Kota Denpasar Th. 2011. Dn sedangkan secara perorangan, masyarakat Bali mempercayai yang namanya Babad. Salah satunya di dalam salah satu babad, tradisi Barong Landung berasal dari cerita tentang seorang putri Dalem Balingkang, Sri Baduga dan pangeran Raden Datonta yang menikah ke Bali. Tradisi meintar mengarak dua ogoh-ogoh berupa laki-laki dan wanita mengelilingi desa tiap sasih keenam sampai kesanga. Visualisasi wujud Barong Landung inilah yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya ogoh-ogoh dalam ritual Nyepi.
            Oleh karena hal tersebut tersebarlah kebudayaan ogoh-ogoh ke seluruh masyarakat Bali. Sehingga kebudayaan ini terwariskan dari generasi ke generasi. Banyak kreativitas dan curahan seni yang di lakukan masyarakat Bali dalam mempersiapkan dan menyambut pelaksanaan kebudayaan ogoh-ogoh ini.









BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ‘eugemonia’. Sebagaimana yang dikemukakan encylclopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polism atau citystates) secaara individual misalnya yang dilakukan opleh negara Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar (Hendarto, 1993:73).
Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”
Makna dari ogoh-ogoh adalah patung yang melambangkan Buta Kala diharapkan dapat menetralisir roh-roh jahat yang menguasai alam manusia antara kebaikan dan keburukan yang biasa juga disebut dengan "Balance of the World". Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Nama Ogoh-ogoh itu sendiri diambil dari sebutan ogah-ogah dari bahasa Bali. Artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan. Dan tahun 1983 merupakan bagian penting dalam sejarah ogoh-ogoh di Bali. Pada tahun itu mulai dibuat wujud-wujud bhuta kala berkenaan dengan ritual Nyepi di Bali. Ketika itu ada keputusan presiden yang menyatakan Nyepi sebagai hari libur nasional.
Pelaksanaan kebudayaan ogoh-ogoh ini telah terhegemoni semakin menyebar ketika ogoh-ogoh diikutkan dalam Pesta Kesenian Bali ke XII. Terdpat dua proses penyebarluasan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan. Secara institusional Pemerintah Kota Denpasar melalui Dinas Kebudayaan Kota Denpasar bekerjasama dengan Majelis Madya dan Parum Bendesa Desa Pakraman Denpasar, Listibiya Kota Denpasar, SKPD Kecamatan memfasilitasi tradisi kreatif masyarakat dengan melaksanakan Parade Ogoh-Ogoh Pangerupukan sekaligus menyambut Tahun Baru Saka 1934 dengan berpedoman kepada Buku Panduan Ogoh-Ogoh Pangerupukan Kota Denpasar Th. 2011. Dn sedangkan secara perorangan, masyarakat Bali mempercayai yang namanya Babad. Salah satunya di dalam salah satu babad, tradisi Barong Landung berasal dari cerita tentang seorang putri Dalem Balingkang, Sri Baduga dan pangeran Raden Datonta yang menikah ke Bali. Tradisi meintar mengarak dua ogoh-ogoh berupa laki-laki dan wanita mengelilingi desa tiap sasih keenam sampai kesanga. Visualisasi wujud Barong Landung inilah yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya ogoh-ogoh dalam ritual Nyepi.


3.2 Saran
Saran yang dapat saya kemukakan dalam tugas ini yaitu bagi masyarakat Bali hendaknya tetaplah menjaga dan melestarikan setiap kebudayaan yang Bali miliki. Salah satunya adalah kebudayaan ogoh-ogoh ini. Dalam pembuatan ogoh-ogoh agar tidak mengesampingkan taksu dari seni yang ada di Bali, serta kendalikan kreativitas generasi muda agar konsepsi ogoh-ogoh tidak melenceng dari pakem yang sudah ada sejak dulu.











DAFTAR PUSTAKA



Bellamy, Richard. 1990. ”Antonio Gramsci”. Teori Sosial Modern: Perspektif Itali. Jakarta: LP3ES.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana Yogya.
Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar